Gorontalo – Sejak gerakan perlawanan rakyat yang dimotori tim 20 dilancarkan, satu per satu kejanggalan dalam administrasi perizinan PT Gorontalo Minerals mulai terungkap ke publik.
Alih alih menegur PT GM, pihak kementrian ESDM malah menerbitkan surat yang justru makin menguatkan dugaan sesuatu tidak beres sedang terjadi.
Pansus DPRD Provinsi Gorontalo mengungkap sedikitnya tiga kejanggalan.
Mulai dari izin teknis yang “nyasar” lokasi, surat Kementerian ESDM yang tak pernah sampai ke pemerintah daerah, hingga alih kawasan hutan yang awalnya untuk rakyat justru berakhir di tangan korporasi.
1. Dokumen Tekno-Ekonomi: Izin di Kalimantan, Menambang di Gorontalo
Berdasarkan dokumen feasibility study atau studi kelayakan, proyek PT GM mengacu pada Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang seharusnya berlaku di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Surat persetujuan studi kelayakan ini diterbitkan pada 21 Agustus 2014 dengan nomor 1131/31.02/DBM/2014, yang menyebut lokasi proyek berada di Kalimantan. Namun faktanya, PT GM beroperasi di Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Secara hukum, IUP bersifat spesifik lokasi sesuai koordinat wilayah kerja. Pemindahan izin dari satu provinsi ke provinsi lain tidak bisa dilakukan tanpa prosedur resmi pencabutan dan penerbitan izin baru. Kejanggalan ini menimbulkan dugaan maladministrasi serius.
2. Surat Kementerian ESDM yang Tidak Pernah Diterima Pemda
Surat nomor 1131/31.02/DBM/2014 yang menjadi dasar persetujuan teknis dan ekonomis PT GM ternyata tidak pernah diterima oleh Dinas ESDM Provinsi Gorontalo.
Isi pokok surat tersebut menyatakan bahwa Kementerian ESDM menyetujui studi kelayakan PT GM untuk wilayah konsesi seluas ±36.070 hektare, yang menjadi prasyarat sebelum penerbitan izin lingkungan dan tahapan produksi.
Dalam rapat Pansus DPRD, pejabat Dinas ESDM mengaku baru pertama kali melihat surat tersebut ketika rapat berlangsung. Padahal, seharusnya surat itu ditembuskan ke pemerintah provinsi dan kabupaten sebagai pemangku wilayah.
Pengacara Rongki Ali Gobel menyebut hal ini sebagai indikasi maladministrasi sistemik. “Kalau dasar izinnya saja bermasalah, maka seluruh operasional tambang patut dipertanyakan legalitasnya,” ujarnya saat itu.










