Alih-alih bersikap keras atau diam, Prabowo bisa membuka ruang dialog. Ia bisa hadir di tengah generasi muda bukan untuk memberi ceramah, tapi untuk mendengar. Karena siapa yang lebih tahu rasanya tidak dianggap oleh bangsanya sendiri selain dia?
Jika ia bisa menyambut momen ini bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk menjahit ulang kebersamaan nasional, maka ia tidak hanya akan menjadi pemimpin administratif, tetapi pemimpin batiniah bangsa. Ia akan membuktikan bahwa nasionalisme bukan hanya diwariskan, tetapi terus-menerus diciptakan ulang bersama seluruh anak bangsa.
Karena pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan sekadar bendera yang berkibar tinggi di tiang besi, tapi bendera yang berkibar dalam dada—dan Presiden yang mampu menjaganya tetap hidup di sana.










