Seperti Luffy, Prabowo tidak lahir dalam kemewahan politik yang aman dan teratur. Ayahnya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, seorang ekonom terkemuka, dipaksa hidup dalam eksil sejak 1957 karena dituduh terlibat dalam gerakan perlawanan daerah. Dari Singapura, keluarga ini berpindah ke Malaysia, lalu ke Hongkong, Swiss, dan London. Selama sepuluh tahun, mereka hidup tanpa status kewarganegaraan yang jelas. Tidak punya tanah air, tapi tidak kehilangan cintanya pada Indonesia.
Namun akar eksil dan perlawanan dalam keluarga ini jauh lebih tua. Leluhur mereka dari Banyumas, Raden Tumenggung Kertanegara IV alias Banyakwide, adalah seorang bangsawan lokal yang mendukung pasukan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825–1830). Karena menolak tunduk pada Belanda, ia diasingkan ke Maluku. Dalam narasi keluarga, Banyakwide bukan sekadar leluhur, tapi simbol abadi bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan bukan pilihan, melainkan warisan.
Dan di balik garis keras itu, ada kelembutan disiplin yang menjalar dari ibunya: Dora Marie Sigar, perempuan Minahasa yang selama masa pengasingan (1957–1967) menjadi jangkar keluarga. Dialah yang menjaga nilai-nilai di tengah keterasingan. Ia tanamkan tanggung jawab, kesetiaan, dan kebanggaan. Ia ajarkan bahwa mencintai Indonesia bukan soal di mana kamu berada, tapi bagaimana kamu bertahan saat negeri sendiri membuangmu.
Pengalaman ini mirip dengan Luffy. Ia bukan anak raja, bukan keturunan elite. Tapi ia mengumpulkan kru bukan dengan uang atau pangkat, melainkan dengan mimpi dan kesetiaan. Dan saat kapal mereka dihantam badai, kru seperti Zoro, Sanji, dan Nami tidak pernah pergi. Justru di masa-masa sulit itulah, mereka menguatkan tekad untuk tetap bersama.
Begitu juga dengan Prabowo. Setelah karier militernya melejit dan ia menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus, badai datang. Ia dijatuhkan dan kembali tersingkir. Ia pergi ke Yordania dan Jerman—bukan sebagai pejabat, tapi sebagai seseorang yang didepak dari sistem. Namun ia tidak tenggelam. Ia membangun Partai Gerindra, meski kalah tiga kali dalam Pilpres (2009, 2014, dan 2019) dan gagal lolos dalam Konvensi Partai Golkar 2004.
Tapi seperti Luffy yang menolak menyerah setelah kalah dari Admiral, Prabowo tetap bertahan. Dan yang membuatnya bertahan adalah para "kru"-nya—Sufmi Dasco, Sugiono, dan Prasetyo Hadi—yang tetap bersamanya saat angin tidak berpihak. Mereka bukan sekadar pembantu politik. Mereka seperti Zoro, Sanji, dan Nami: orang-orang yang tidak meninggalkan kaptennya ketika kompas moral diuji.
Inilah yang menjadikan Prabowo bukan sekadar politisi, tapi metafora hidup dari dunia yang diciptakan Eiichiro Oda, kreator One Piece: seorang kapten kapal yang berkali-kali tenggelam, tapi tidak pernah karam. Seorang kapten yang kehilangan banyak hal, tapi tidak kehilangan kru. Dan di dalam itu, terdapat kekuatan yang tidak bisa direbut oleh siapa pun—yaitu kesetiaan dalam pengasingan dan mimpi yang tak pernah padam.
Merah Putih, Jolly Roger, dan Anak-anak yang Merindukan Tanah Air
Ketika anak muda di berbagai sudut kota mengibarkan bendera One Piece, banyak yang buru-buru menyebut mereka kurang nasionalis. Tapi mungkin yang sedang mereka lakukan bukan perlawanan, melainkan pengakuan: bahwa mereka masih ingin percaya. Masih ingin merasa menjadi bagian dari Indonesia. Masih ingin berjuang—tapi mereka juga ingin merasa didengar.
Di sinilah muncul paradoks: mereka lahir di tanah air ini, tetapi tidak merasa memiliki tempat. Mereka ingin berkontribusi, tapi jarang dilibatkan. Mereka ingin bermimpi besar, tapi sering kali dituduh terlalu naif. Dalam diam, mereka menjahit sendiri simbol keberanian, solidaritas, dan kebebasan—dan lahirlah bendera Jolly Roger, bukan dari pengkhianatan, tetapi dari kekosongan ruang representasi.










