Bendera One Piece dan Merah Putih: Prabowo, Luffy dan Nasionalisme yang Luka

Bendera One Piece dan Merah Putih: Prabowo, Luffy dan Nasionalisme yang Luka

Anki P Putra

Penulis

Terkinidotid Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Bendera One Piece bukan ancaman. Ia adalah teriakan sunyi dari hati yang ingin diakui. Dalam anime itu, Luffy bukan warga negara hebat. Ia justru melawan kekuasaan global yang otoriter. Tapi ia tak pernah kehilangan kompas moral. Ia bertarung bukan untuk menjajah, tapi untuk membebaskan. Ia mengibarkan bendera bukan untuk menaklukkan, tapi untuk menyatukan mereka yang terusir.

Bukankah itu juga kisah Prabowo? Ia tak selalu diterima oleh sistem. Ia dibuang oleh tanah airnya, dua kali. Tapi ia tetap pulang. Ia membangun partai sendiri, memperjuangkan gagasannya sendiri. Dan di sekelilingnya tetap ada mereka yang tidak pernah pergi: orang-orang yang percaya, bukan karena kekuasaan, tapi karena nilai yang dibawa bersama.

Jolly Roger dan Merah Putih seharusnya tidak saling meniadakan. Karena dalam keduanya ada semangat yang sama: semangat untuk tidak menyerah meski dunia membuangmu.

Maka respons terhadap fenomena ini tidak cukup hanya berupa larangan atau sanksi. Yang lebih dibutuhkan adalah keberanian untuk bertanya: masihkah Merah Putih hidup di dada anak-anak muda kita? Atau ia hanya tinggal sehelai kain di tiang yang sunyi?

Bagaimana Semestinya Prabowo Menanggapi

Prabowo yang menanggung luka selama puluhan tahun, sejak tahun 1957 hingga tahun 2024, sangatlah paham bahwa nasionalisme tidak bisa dipaksa. Ia harus tumbuh dari rasa memiliki, rasa dipercaya, rasa diikutsertakan. Merah Putih tidak akan kehilangan makna jika kita mampu menghidupkannya kembali dalam bahasa dan semangat generasi hari ini. Ia harus menjadi simbol perjuangan baru, bukan sekadar monumen dari masa lalu.

Seseorang seperti Prabowo—yang pernah dibuang, pernah kalah, pernah ditinggalkan—jika mampu melihat ini bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai cermin, maka barangkali ia akan tahu: bahwa bendera paling suci bukan yang hanya dikibarkan di tiang, tapi yang berkibar diam-diam di dalam dada mereka yang meski kecewa, tetap memilih untuk tinggal.

Prabowo Subianto bukan hanya Presiden. Ia adalah simbol sejarah yang panjang, penuh luka dan eksil, namun juga penuh rekonsiliasi. Ia pernah hidup di luar tanah air, tanpa negara, tanpa tanah tempat berpijak, namun tak pernah kehilangan cinta pada Indonesia. Maka ketika simbol imajiner seperti One Piece dikibarkan oleh anak-anak bangsa di momen kemerdekaan, Prabowo justru orang yang paling mungkin memahami.

Ia tahu, simbol bukan hanya gambar. Ia adalah wadah dari rasa, luka, dan harapan. Dan bendera bajak laut yang dikibarkan bukanlah tanda makar, melainkan jeritan rindu untuk merasa dimiliki oleh negeri sendiri. Justru dari pengalaman eksil dan keterasingan itulah, Prabowo punya modal historis dan emosional untuk menanggapi ini dengan lebih bijak: bukan dengan larangan, tetapi dengan pelibatan.

Prabowo tentu saja paham bahwa nasionalisme hari ini bukanlah nasionalisme yang berbicara lewat podium, tetapi lewat ruang imajinasi, kesetiaan kultural, dan simbol yang menyentuh batin. Setelah menanggung luka eksil dan pelbagai pengkhianatan, dirinya menjadi Presiden, dan dirinya pun tahu bahwa ini bukan sekadar soal memimpin negara, tapi juga membangun kembali ikatan batin dengan generasi yang merasa asing di rumah sendiri.